Alinemen Horisontal

Alinemen Horisontal

 Alinemen Horisontal 1

Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang horizontal dan terdiri dari tegak lurus dan garis langsung. Di dalam perencanaan garis langsung perlu diketahui kecepatan rencana dengan keadaan langsung tikungan tersebut.

Tujuan ditetapkannya alinemen horizontal adalah untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi pemakai jalan.

Untuk mencapai tujuan ini antara lain perlu diperhatikan hal-hal :

  1. Sedapat mungkin menghindar brocken back artinya tikungan searah yang hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.
  2. Pada bagian yang relatif lurus dan panjang tiba-tiba ada tikungan yang tajam yang akan mengejutkan pengemudi.
  3. Kalau sangat terpaksa jangan sampai menggunakan radius minimum, sebab jalan tersebut akan sulit mengikuti perkembangan-perkembangan di masa yang akan datang.
  4. Diantara dua tangen berbentuk S, maka panjang tangen antara kedua tikungan harus cukup untuk mengikuti (memberikan) radius pada ujung lebar jalan atau 20 sampai 30 meter.

Faktor-faktor Penentu

Faktor-faktor penentu yang berpengaruh pada perencanaan alinemen horizontal :

  1. Kecepatan rencana (V)
  2. Jari-jari tikungan (R)
  3. Kemiringan muka perkerasan (e)
  4. Koefisiensi gesek antar ban dengan muka perkerasan (f)

Dalam hal ini menentukan bentuk-bentuk tikungan terdapat hal-hal tertentu yang perlu diperhatikan, yaitu :

  • Jari-jari lengkung minimum
  • Lengkung peralihan
  • Jenis tikungan1. Full Circle (C – C)2. Spiral – Spiral (S – S)3. Spiral – Circle – Spiral (S – C – S)
Tikungan Full Circle (C-C)
Tikungan Spiral – Spiral (S – S)
Tikungan Spiral – Circle – Spiral (S – C – S)

Jarak Pandang

Kemungkinan melihat ke depan adalah sangat penting untuk operasi di jalan, sehingga tercapai keadaan yang aman dan efisien. Untuk itu diperlukan kriteria untuk jarak pandang.

Jarak pandang adalah jarak terjauh dari permukaan jalan tanpa terputus, yang masih dapat dilihat oleh pengemudi di dalam kendaraan pada suatu ruas jalan yang tertentu. Pada suatu jalan yang lurus dan datar jarak pandang tak tehingga, sedangkan pada tikungan lengkung vertikal cembung, jarak pandangan dibatasi oleh permukaan jalan.

Panjang jarak pandangan yang diperlukan tergantung dari pengendara dan kendaraan yang bersangkutan.

Faktor yang terkait antara lain :

1. Waktu sadar dan reaksi pengendara

Waktu ini adalah waktu yang diperlukan untuk menelaah rangsangan yang diterima, waktu telaah tersebut mengikuti tahapan Perception, Intelection, Emotion, dan Volition sehingga disingkat PIEV.

  • PerceptionPengemudi perlu menelaah rangsangan yang diterima melalui indera dimana proses ini perlu waktu yang disebut perception time. Besarnya waktu yang pasti sukar ditentukan dan bervariasi tergantung keadaan pengendara serta rangsangannya.
  • IntelectionPenelaahan terhadap rangsangan sering tidak begitu saja berhasil, tetapi memerlukan proses pemikiran atau perbandingan dengan ingatannya yang lalu, proses ini disebut intelection proses.
  • EmotionMemerlukan proses penanggapan terhadap rangsangan setelah perception setelah perception dan intelection. Reaksi yang akan diambil sering sangat dipengaruhi proses emosi.
  • VolitionKemauan untuk mengambil tindakan sesuai dengan petimbangan-pertimbangan yang diambil.

2. Waktu yang diperlukan untuk menghindari kendaraan yang dianggap berbahaya

3. Kecepatan kendaraan

Jenis-jenis Jarak Pandang Kendaraan

  1. Jarak Pandangan HentiJarak pandangan henti adalah jarak yang digunakan oleh pengemudi untuk menghentikan kendaraan pada waktu melihat adanya rintangan pada jalan yang dilalui.
  2. Jarak Pandang MenyiapJarak pandangan menyiap diperlukan untuk melakukan penyiapan sehingga dapat berjalan di jalur berlawanan dan kembali lagi kejalur semula dengan aman.
  3. Kebebasan Samping pada TikunganPada tikungan, jarak pandang dibatasi dengan penghalang seperti : pohon, tebing atau bangunan pada tikungan dan permukaan jalan lengkung vertikal cembung. Untuk keamanan maka harus disediakan jarak pandang yang cukup.Kebebasan samping dimasukan untuk memberikan jarak pandang yang cukup pada tikungan atau pada lengkung cembung. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan penglihatan pengemudi terhadap kendaraan dari arah berlawanan sewaktu kendaraannya melewati tikungan sehingga pengemudi tidak kaget jika ada kendaraan dari arah berlawanan.

Pelebaran Perkerasan pada Tikungan

Pada tikungan, kendaraan tidak dapat membuat lintasan menurut jalur yang tersedia seperti pada jalan lurus atau tangen, di samping itu yang diberi sudut belokan hanya roda depan, sehingga roda belakang akan mengalami lintasan yang lebih keluar terutama untuk kecepatan tinggi lintasan roda belakang cenderung bergeser ke arah dalam.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/teknik-lalulintas/alinemen-horisontal

CPM (Critical Path Method)

CPM (Critical Path Method)

 CPM 1

Critical Path Method pertama kali diperkenalakan oleh ahli matematika dari perusahaan DU-Pont bekerjasama dengan Rand Corporation oleh team engineer. Critical Path Method terdiri dari anak panah (arrow) dan lingkaran/segiempat (node). Anak panah (arrow)  menggambarkan kegiatan/aktifitas sedangkan segiempat (node)  menggambarkan kejadian (Event). Kejadian (Event) di awal dari anak panah disebut node “I” , sedangkan kejadian (Event)  di akhir anak panah disebut node “J”.

Setiap actifity on arrow  merupakan satu kesatuan dari seluruh kegiatan sehingga kegiatan (Event) “J” kegiatan sebelumnya juga merupakan kejadian (Event) “I” kegiatan berikutnya. Bentuk diagram ini juga disebut dengan I-J diagram.

Penggambaran Critical Path Methodmenggunakan simbol yang dapat berbentuk segi empat atau lingkaran. Simbol-simbol ini dapat digunakan asal disertai legenda yang menjelaskan tentang apa yang dimaksud oleh pembuatnya. Di bawah ini adalah gambar contoh penggambaran CPM untuk satu item pekerjaan.

Gambar diagram CMP untuk satu item pekerjaan

Keterangan :

  • Lingkaran disebut juga node menunjukkan berawalnya suatu  pekerjaan ataupun berakhirnya suatu pekerjaan
  • Garis panah (arrow) menunjukkan pekerjaan, arah panah ke suatu node menunjukkan urutan antar pekerjaan. Jika garisnya tebal berarti lintasan kritis (critical path). Jika garisnya putus-putus berarti pekerjaannya semu (dummy), secara alogika pekerjaan tersebut ada tetapi dalam kenyataannya tidak ada sehingga durasinya pun nol
  • EETi        : (Earliest Event Time i) Saat paling awal pekerjaan dimulai
  • EETj        : (Earliest Event Time j) Saat paling dini pekerjaan berakhir
  • LETi        : (Latest Event Time i) Saat paling lambat pekerjaan dimulai
  • LETj        : (Latest Event Time j) Saat paling lambat pekerjaan berakhir
  • Durasi      : Lama pekerjaan berlangsung
  • N              : Nomor pengidentifikasian node

Dalam penyusunan Critical Path Method, simbol-simbol diatas tersebut digunakan dengan mengikuti aturan-aturan sebagai berikut.

  •  Setiap kegiatan diwakili oleh satu dan hanya satu anak panah dalam jaringan kerja, atau di antara dua pekerjaanyang sama hanya boleh digambarkan satu anak panah. Lihat gambar di bawah ini :
Gambar aturan penyusunan CPM
  • Nama suatu kejadian dinyatakan dengan huruf atau dengan nomor pekerjaan. Setiap lingkaran pekerjaan diberi nomor     sedemikian rupa, sehingga tidak terdapat lingkaran yang berulang kembali agar tidak terjadi circularity.
  • Kegiatan harus dimulai dari kejadian yang bernomor rendah ke kejadian bernomor tinggi.

1. Pehitungan EET (Earliest Event Time)

Untuk menghitung besarnya nilai EET digunakan perhitungan kedepan (Forwoard Analysis), dimulai dari kegiatan paling awal dan dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya. Berikut ini adalah Gambar 3.2 diagram CPM dan Rumus 3.7 dan Rumus 3.8 perhitungan EET.

Gambar diagram CPM

EET = EET1 + durasi A……………………………………………………………… (3.7)

EET = EET2 + durasi B……………………………………………………………… (3.8)

Apabila pada pehitungan EET pada suatu kegiatan terdapat hasil lebih dari satu maka dipilih yang paling besar.

2. Perhitungan LET (Latest Event Time)

Untuk menghitung besarnya nilai LET digunakan perhitungan kebelakang (Backward Analysis), dimulai dari kegiatan paling akhir dan dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya. Berikut ini adalah Gambar 3.3 diagram CPM dan Rumus 3.9 dan Rumus 3.10 cara perhitungan  LET.

Gambar diagram CPM

Rumus perhitungan LET :

LET = LET1 – durasi A……………………………………………………………… (3.9)

LET = LET2 – durasi B……………………………………………………………….(3.10)

Apabila pada pehitungan  LET pada suatu kegiatan terdapat hasil lebih dari satu maka dipilih yang paling kecil.

3. Penundaan (Float)

Float adalah jangka waktu yang merupakan ukuran batas toleransi keterlambatan suatu aktivitas yang non kritis. Berikut ini adalah Gambar  3.4 diagram CPM dan rumus perhitungan float :

Gambar diagram CPM

Total Float (TF)

Jumlah penundaan maksimum yang dapat diberikan pada suatu kegiatan tanpa menghambat penyelesaian keseluruhan proyek. Untuk perhitungan total float dapat dilihat Rumus 3.11 dan Rumus 3.12.

TF = LET– EET1-durasi………………………………………………(3.11)

TF = LET– EET2-durasi………………………………………………(3.12)

Free Float (FF)

Penundaan yang masih dapat diberikan pada suatu kegiatan tanpa mengakibatkan penundaan kegiatan-kegiatan berikutnya. Untuk perhitungan free float dapat dilihat Rumus 3.13 dan Rumus 3.14.

FF = EET– EET1-durasi…………………………………………….. (3.13)

FF = EET– EET2-durasi…………………………………………….. (3.14)

3)             Independent Float (IF)

Penundaan yang dapat diberikan pada suatu kegiatan tanpa mengakibatkan penundaan kegiatan-kegiatan setelahnya. Untuk perhitungan Independent float dapat dilihat Rumus 3.15 dan Rumus 3.16.

IF = EET– LET1-durasi………………………………………………(3.15)

IF = EET– LET2-durasi……………………………………………… (3.16)


https://www.ilmutekniksipil.com/pengelolaan-dan-pengendalian-proyek/cpm-critical-path-method

Standar Perancangan Jalan Raya

Standar Perancangan Jalan Raya
 Standar Perancangan Jalan Raya

Jalan yang merupakan penghubung darat bagi lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki. Oleh karena itu dalam perencanaan jalan raya, bentuk geometrisnya harus ditentukan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas dengan fungsinya.

Dalam perencanaan geometrik jalan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Kecepatan kendaraan

Dalam hal ini kecepatan rencana (design speed) yaitu kecepatan yang dipilih untuk menentukan ukuran jalan beserta bagian-bagiannya yang mana hal ini akan mengarah pada faktor ekonomi dan biaya pembuatannya.

2. Jari-jari tikungan minimum

3. Jumlah dan lebar jalan

4. Landai jalan maksimum

5. Jarak pandangan

Baik untuk pandangan henti maupun pandangan menyiap.

6. Lebar penguasaan tanah (RoW = Row of Way)

Selain itu diperhatikan pula keadaan topografi. Dalam hal ini medan dibagi dalam tiga golongan umum yang dibedakan menurut besarnya lereng dalam arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan. Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Standar perancangan jalan raya yang digunakan adalah berdasar metode Bina Marga, metode tersebut sudah banyak diakui dan dipakai oleh para insinyur serta perancang dan kontraktor di Indonesia karena keduanya memiliki kelebihan serta kekurangan yang dapat melengkapi diantara keduanya. Disamping itu metode-metode tersebut sudah teruji dari sisi keselamatan pemakai jalan.

1. Alinemen Horisontal

Alinemen horisontal adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang datar. Alinemen horisontal merupakan susunan dari garis lurus berbagai arah (azimut) yang saling dihubungkan oleh lengkungan (busur peralihan)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan trase jalan :

  1. Menghindari tikungan searah yang hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek, untuk menghindari “Broken Back“.
  2. Pada bagian yang relatif lurus dan panjang jangan sampai terlihat tikungan yang tajam, sehingga dapat mengejutkan pengemudi.
  3. Menghindari penggunaan jari-jari minimum, karena jalan tersebut sulit mengikuti perkembangan lalu lintas dimasa yang akan datang.
  4. Diantara tikungan berbentuk es, maka panjang tangen diantara kedua tikungan harus cukup untuk memberikan rounding pada ujung-ujung tepi perkerasan, diperkirakan tangent minimum 20-30 meter.
  5. Penyediaan drainase yang cukup baik.
  6. Memperkecil pekerjaan tanah

2. Alinemen Vertikal

Alinemen vertikal adalah garis proyeksi sumbu jalan sejajar pada bidang datar. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam alinemen vertikal antara lain :

  1. Kecepatan rencana harus sesuai.
  2. Topografi erat hubungannya dalam pekerjaan tanah. Penentuan kelandaian harus diperhatikan, sehingga jumlah galian dan timbunan sama atau hampir sama.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan alinemen vertikal :

  1. Sedapat mungkin menghindari “Broke grade line“ artinya jangan sampai ada lengkung yang hanya dipisahkan dengan tangen yang pendek.
  2. Menghindari “Hidden Hip“ artinya pada alinemen vertikal yang relatif datar dan lurus jangan sampai didalamnya terdapat lengkung cekung yang pendek.
  3. Landai penurunan yang tajam dan panjang harus diikuti oleh pendakian agar secara otomatis kecepatan yang besar dari kendaraan dapat dikurangi.
  4. Jika ada suatu potongan jalan dan menghadapi alinemen vertical yang tersusun dari prestasi kecil dan besar maka kendaraan yang paling curam harus ditempatkan pada bagian permulaan landai yang presentasinya paling kecil.
sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/teknik-lalulintas/standar-perancangan-jalan-raya

Bendung Gerak dan Bendung Tetap

Bendung Gerak dan Bendung Tetap

 BendungGerakBojonegoro

Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk meninggikan elevasi muka air dari sungai yang dibendung sehingga air bisa disadap dan dialirkan ke saluran lewat bangunan pengambilan (intake structure).

Bangunan Utama adalah bangunan air (hydraulic structure) yang terdiri dari bagian-bagian: bendung (weir structure), bangunan pengelak (diversion structure), bangunan pengambilan (intake structure), bangunan pembilas (flushing structure) dan bangunan kantong lumpur (sediment trap structure).

Jenis bendung dibagi menjadi dua yaitu :

 1. Bendung tetap (fixed weir, uncontrolled weir)

Bendung tetap adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya tidak dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung tidak dapat diatur sesuai yang dikehendaki.

Pada bendung tetap, elevasi muka air di hulu bendung berubah sesuai dengan debit sungai yang sedang melimpas (muka air tidak bisa diatur naik ataupun turun). Bendung tetap biasanya dibangun pada daerah hulu sungai. Pada daerah hulu sungai kebanyakan tebing-tebing sungai relative lebih curam dari pada di daerah hilir. Pada saat kondisi banjir, maka elevasi muka air di bendung tetap (fixed weir) yang dibangun di daerah hulu tidak meluber kemana-mana (tidak membanjiri daerah yang luas) karena terkurung oleh tebing-tebingya yang curam.

Gambar Bendung Tetap

2. Bendung gerak/bendung berpintu  (gated weir, barrage)

Bendung gerak adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya dapat diubah sesuai dengan yang dikehendaki.

Pada bendung gerak, elevasi muka air di hulu bendung dapat dikendalikan naik atau turun sesuai yang dikehendaki dengan membuka atau menutup pintu air (gate). Bendung gerak biasanya dibangun pada daerah hilir sungai atau muara. Pada daerah hilir sungai atau muara sungai kebanyakan tebing-tebing sungai relative lebih landai atau datar dari pada di daerah hilir. Pada saat kondisi banjir, maka elevasi muka air sisi hulu bendung gerak yang dibangun di daerah hilir bisa diturunkan dengan membuka pintu-pintu air (gate) sehingga air tidak meluber kemana-mana (tidak membanjiri daerah yang luas) karena air akan mengalir lewat pintu yang telah terbuka kea rah hilir (downstream).

Gambar Bendung Gerak

Penentuan lokasi bendung :

Lokasi bendung harus dipilih di tempat yang optimum dengan memperhatikan :

  • Bagian sungai yang lurus dengan bentang terpendek ( jarak antara tebing kiri-tebing kanan).
  • Terdapat alur yang stabil di dekat lokasi bangunan pengambilan (intake structure).
  • Air sungai yang akan disadap mencukupi meskipun pada saat musim kemarau.
  • Sedikit sedimen yang masuk pada saat penyadapan.
  • Dampak pembangunan bendung adalah kecil baik ke arah hulu dan hilir.
  • Stabilitas bendung bisa tercapai seiring dengan biaya yang ekonomis.
  • Mudah dalam saat pelaksanaan Operasi dan pemeliharaan.

Data-data yang dibutuhkan untuk perencanaan:

  • Peta topografi (skala 1 :  25000, 1 : 1 : 2000 dan skala 1 : 100), untuk menentukan tata letak bendung.
  • Data geologi teknik lokasi tapak bendung, untuk menentukan karakteristik pondasi bendung.
  • Data hidrologi, untuk menentukan besaran debit banjir rencana.
  • Data morfologi sungai, untuk menentukan besaran angkutan sedimen.
  • Data karakteristik sungai, untuk menentukan hubungan antara besaran debit sungai dengan elevasi muka air banjir.
  • Keadaan batas pada jaringan irigasi, untuk menentukan dimensi bendung dan bangunan intake.

Pemilihan tipe bendung

Pemilihan tipe bendung ( bendung tetap ataupun bendung gerak) didasarkan pada pengaruh air balik akibat pembendungan (back water)Jika pengaruh air balik akibat pembendungan tersebut berdampak pada daerah yang luas maka bendung gerak (bendung berpintu) merupakan pilihan yang tepat.

Jika pengaruh air balik akibat pembendungan tersebut berdampak pada daerah yang tidak terlalu luas (misal di daerah hulu ) maka bendung tetap merupakan pilihan yang tepat.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/bangunan-air/bendung-gerak-dan-bendung-tetap

Sistem Sinyal Lalulintas

Sistem Sinyal Lalulintas

 Sistem Sinyal Lalulintas 1

Fungsi lampu lalulintas adalah alat pengatur hak berjalan bagi pergerakan lalulintas (termasuk pejalan kaki) secara bergantian di pertemuan jalan. Pengaturan ditunjukkan dengan tiga aspek warna yaitu merah, kuning dan hijau. Menurut MUTCD (Manual on Uniform Traffic Control Devices), tujuan sistem sinyal lalulintas (lampu lalulintas) adalah sebagai berikut :

  1. Menciptakan pergerakan dan hak berjalan secara bergantian dan teratur sehingga dapat meningkatkan daya dukung simpang atau melayani arus lalulintas,
  2. Dapat dilaksanakan hierarki jalan yang pada umumnya jalan utama mendapatkan perlambatan (delay),
  3. Pengaturan prioritas bagi jenis kendaraan tertentu (misalnya angkutan umum) dapat dilaksanakan,
  4. Menciiptakan celah (gap) dari arus kendaraan yang padat, untuk memberikan hak berjalan bagi arus lalulintas (seperti sepeda, pejalan kaki) memasuki persimpangan iring-iringan (platoon) pada arus lalulintas yang padat,
  5. Mengurangi terjadinya kecelakaan dan keterlambatan lalulintas,
  6. Memberikan mekanisme pengaturan lalulintas yang lebih efektif dan murah dibandingkan dengan cara-cara manual,
  7. Mengurangi tenaga polisi dan menghindarkan polisi dari polusi udara, kebisingan, dan resiko kecelakaan,
  8. Memberikan rasa percaya kepada pengemudi bahwa hak berjalannya terjamin dan menumbuhkan sikap disiplin

Kesalahan perancangan dan pengoperasian lampu lalulintas berakibat sebagai berikut :

  1. Terjadinya kelambatan (delay) yang tidak perlu,
  2. Kelambatan yang tidak perlu menyebabkan dilanggarnya pengaturan lampu lalulintas oleh pengemudi,
  3. Meningkatnya kecelakaan seperti tabrakan rear-end dan tabrakan yang melibatkan kendaraan belok kanan apabila lampu panah hijau tidak ada,
  4. Kapasitas pertemuan jalan berkurang sebagai akibat dari meningkatnya rasio antara siklus hijau yang dikarenakan bertambah banyaknya fase lampu lalulintas,
  5. Kelambatan dan antrian kendaraan yang panjang merugikan pemakai jalan, berupa pemborosan energi, meningkatnya polusi udara maupun kebisingan.

Beberapa alasan mengapa digunakan lampu lalulintas

  1. Menghindarkan kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalulintas,
  2. Memberi kesempatan kepada kendaraan dan pejalan kaki dari jalan minor untuk memotong jalan utama,
  3. Mengurangi tingkat kecelakaan lalulintas dan tundaan lalulintas
  4. Memberikan mekanisme pengaturan lalulintas yang efektif dan murah dibandingkan dengan pengaturan manual.

Menurut HCM (Highway Capacity Manual) 1985 pengoperasian lampu lalulintas ada tiga pengaturan yaitu :

1. Pengatuan waktu yang tetap (time-preset operation or time-preset signal)

  • Waktu siklus dan fase diatur secara tetap
  • Keuntungan, tidak perlu mengganti siklus karena tiap hari volume lalulintas rata-rata sama
  • Kerugian, bila volume lalulintas pendekat besar akan berakibat tundaan lama
  • Kerugian, bila volume lalulintas pendekat lainnhya rendah akan berakibat waktu menunggu lebih lama meskipun fase pendekat lain sudah habis.

2. Pengaturan sinyal semi aktuasi (semi-actuated operation or semi-actuated signal)

  • Sesuai untuk simpang pada pertemuan jalan minor atau penyeberangan pejalan kaki dengan jalan utama,
  • Jalan utama selalu berisyarat hijau sampai alat deteksi pada jalan minor memberikan isyarat adanya kendaraan yang datang pada salah satu atau kedua sisi jalan utama tersebut,
  • Detektor dipasang pada jalan minor sehingga bila ada arus yang akan melintasi simpang, arus pada jalan utama akan dihentikan untuk memberikan kesempatan lewat,
  • Kerugiannya, bila arus lalulintas dari jalan minor tinggi maka kelancaran arus jalan utama terganggu.

3. Pengaturan sinyal aktuasi penuh (full actguated operation)

  • Semua fase lampu diatur penuh oleh detector
  • Fase berubah otomatis bergantung volume kendaraan menuju simpang
  • Pengaturan paling efektif pada jalan-jalan yang volume lalulintas hampir sama

    Definisi-definisi Pengaturan Sinyal
sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/teknik-lalulintas/sistem-sinyal-lalulintas

Pondasi Cakar Ayam

Pondasi Cakar Ayam

Pondasi sistem cakar ayam ditemukan oleh Prof. Dr. Ir. Sediyatmo pada tahun 1961. Pertama kali digunakan pada pondasi bangunan menara listrik tegangan tinggi di daerah Ancol. Pondasi sistem cakar ayam terdiri dari pelat tipis yang didukung oleh pipa-pipa (cakar) yang tertanam pada bagian bawah pelat. Hubungan antara pipa-pipa dengan pelat beton dibuat monolit. Kerjasama sistem meliputi antara pelat–cakar–tanah yang menciptakan pelat yang lebih kaku dan lebih tahan terhadap beban dan pengaruh penurunan yang tidak seragam.

Pondasi sistem cakar ayam juga banyak digunakan untuk berbagai pondasi bangunan dan perkerasan jalan raya, terdiri dari pelat tipis beton bertulang. Secara umum perkerasan cakar ayam, terdiri dari pelat tipis beton bertulang tebal 10 – 17 cm yang diperkaku oleh pipa-pipa beton berdimeter 120 cm, dengan tebal 8 cm dan panjang pipa 150 – 200 cm yang tertanam pada lapisan subgrade, dengan jarak pipa-pipa bekisar 2,0 – 2,5 meter. Di bawah pelat terdapat lapisan lean concrete setebal kurang lebih 10 cm (terbuat dari beton mutu rendah) dan lapisan sirtu tebal 30 cm.

Denah
Potongan Melintang

Sistem Cakar Ayam Modifikasi (CAM)

Sistem Cakar Ayam Modifikasi (CAM) merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem cakar ayam Prof. Sediyatmo. Pengembangan yang dilakukan mencakup:

  1. Perubahan bahan cakar yang semula dari bahan pipa beton digantikan dengan pipa baja dengan tebal 1,4 mm, diameter 0,60 – 0,80 m dan panjang 1,0 – 1,2 m.
  2. Pengembangan pada metode analisis, perancangan, metode pelaksanaan, dan metode evaluasi perkerasan.
  3. Aplikasi sistem CAM pada tanah dasarnya berupa tanah ekspansif (tanah dasar mudah mengalami kembang susut, sehingga merusakkan perkerasan)
Denah
Potongan Melintang

Pondasi cakar ayam digunakan pada :

  1. Pondasi menara transmisi tegangan tinggi.
  2. Pondasi bangunan gedung bertingkat, power station, kolam renang, gudang, dan hanggar.
  3. Pondasi jembatan.
  4. Perkerasan bandara (runway, taxi way, dan apron).
  5. Perkerasan jalan tol.
Untuk Menara Listrik
Untuk Tangki Air
Penerapan Cakar Ayam pada Bandara
Penerapan Cakar Ayam pada Konstruksi Jalan
Perbandingan Plat Tanpa Cakar Ayam dan dengan Cakar Ayam
Cara Pelakasanaan :
  1. Melakukan pengukuran serta pembersihan lahan seluas yang digunakan.
  2. Lakukan penggalian tanah yang akan digunakan sebagai lantai kerja setebal 30-50 cm,kemudian  pada jarak 2,5 meter dibuat lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam  1,2 meter yang nantinya digunakan sebagai cakar.
  3. Buat bekisting pada galian tersebut.
  4. Rangkai besi tulangan sebagai perkuatan fondasi,siapkan juga campuran beton dengan ketetapan yang sudah ditentukan.
  5. Masukkan pipa baja ke dalam cakar pondasi.
  6. Rangakaikan tulangan pada galian fondasi,setelah siap tuangkan campuran beton.
  7. Tunggu selama 28 hari hingga kekuatan beton berkekuatan 100% atau maksimal.
sumber :  https://www.ilmutekniksipil.com/teknik-pondasi/pondasi-cakar-ayam

Bekisting Konvensional

Bekisting Konvensional

Formwork atau bekisting merupakan salah satu faktor penting yang harus direncanakan secara matang dalam suatu pekerjaan konstruksi beton. Menurut Stephens (1985), formwork atau bekisting adalah cetakan sementara yang digunakan untuk menahan beton selama beton dituang dan dibentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Dikarenakan berfungsi sebagai cetakan sementara, bekisting akan dilepas atau dibongkar apabila beton yang dituang telah mencapai kekuatan yang cukup.

Menurut Blake (1975), ada beberapa aspek yang harus diperhatikan pada pemakaian bekisting dalam suatu pekerjaan konstruksi beton. Aspek tersebut adalah :

  1. Aspek pertama adalah kualitas bekisting yang akan digunakan harus tepat dan layak serta sesuai dengan bentuk pekerjaan struktur yang akan dikerjakan. Permukaan bekisting yang akan digunakan harus rata sehingga hasil permukaan beton baik.
  2. Aspek kedua adalah keamanan bagi pekerja konstruksi tersebut, maka bekisting harus cukup kuat menahan beton agar beton tidak runtuh dan mendatangkan bahaya bagi pekerja sekitarnya.
  3. Aspek yang ketiga adalah biaya pemakaian bekisting yang harus direncanakan seekonomis mungkin.

Metode bekisting yang biasanya digunakan pada bangunan dengan material utama beton, adalah metode bekisting konvensional. Bahan yang digunakan pada bekisting konvensional diantaranya kayu, multiplex, papan, dan paku yang mudah didapat tetapi masa pemakaiannya lebih pendek dikarenakan penyusutan yang besar. Ini mengharuskan pembelian material berulang kali. Selain itu dalam pengerjaannya harus dipasang dan dibongkar atau dibuat pada setiap elemen struktur yang membutuhkan tenaga kerja yang kurang terampil. Sehingga pengerjaan dengan metode ini memerlukan waktu dan biaya pengerjaan yang cukup besar.

Pada awalnya bekisting yang dipakai pada pekerjaan konstruksi, biasanya terbuat dari kayu dengan kadar kelembaban antara 15%-20%. Bekisting tradisional dengan menggunakan material kayu ini dapat dipakai hampir pada semua struktur jenis bangunan, misalnya: pondasi, kolom, balok, pelat lantai, dinding, dan sebagainya.

Bekisting tradisional dengan menggunakan material kayu ini dalam proses pengerjaannya dipasang dan dibongkar pada bagian struktur yang akan dikerjakan. Pembongkaran bekisting dilakukan dengan melepas bagian-bagian bekisting satu per satu setelah beton mencapai kekuatan yang cukup. Jadi bekisting tradisional ini pada umumnya hanya dipakai untuk satu kali pekerjaan, namun jika material kayu masih memungkinan untuk dipakai maka dapat digunakan kembali untuk bekisting pada elemen struktur yang lain.

Hasil akhir permukaan beton yang diperoleh dengan menggunakan bekisting material kayu ini tidak terlalu baik, namun pemakaian bekisting ini mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Dikatakan tinggi, karena bekisting tradisional ini dapat dibuat dan dipakai untuk struktur bangunan dengan bentuk yang bervariasi. Sehingga walaupun dalam perkembangan selanjutnya terdapat jenis material bekisting baru yang dapat digunakan dalam pembuatan bekisting, biasanya tetap mengkombinasikan pemakaian bekisting tradisional dengan bekisting yang modern untuk pekerjaan-pekerjaan struktur yang kecil.

Dengan menggunakan bekisting metode konvensional kekurangannya adalah:

  1. Material kayu tidak awet untuk dipakai berulang-ulang kali;
  2. Waktu untuk pasang dan bongkar bekisting menjadi lebih lama;
  3. Banyak menghasilkan sampah kayu dan paku, sehingga lokasi menjadi kotor;
  4. Bentuknya tidak presisi.

Berikut ini adalah contoh bekisting konvensional

Gambar Bekisting Konvensional
Gambar Bekisting Konvensional

Karena bekisting konvensional masih memiliki beberapa kekurangan maka baca juga Jenis-Jenis Bekisting untuk mengetahui jenis-jenis bekisting lain yang lebih moderen.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/bekisting/bekisting-konvensional