Titik Lembek Aspal dan Ter

Titik Lembek Aspal dan Ter
Titik Lembek Aspal dan Ter

Aspal merupakan material termoplastik yang secara bertahap dapat mencair sesuai dengan pertambahan suhu, hal sebaliknya juga berlaku jika terjadi pengurangan suhu. Namun demikian, respon aspal terhadap perubahan suhu sangat bergantung pada komposisi unsur-unsur pembentuk aspal itu sendiri. Pelembekan (softening) bahan-bahan aspal dan ter tidak terjadi dengan sekejap pada suhu tertentu, tapi lebih merupakan perubahan gradual seiring pertambahan suhu. Titik lembek juga menjadi suatu batasan dalam penggolongan aspal dan ter. Titik lembek merupakan suatu hal yang harus diperhatikan dalam membangun kontruksi jalan. Titik lembek seharusnya lebih tinggi daripada suhu permukaaan jalan.

Titik lembek adalah besarnya suhu dimana aspal atau ter mancapai derajat kelembekan (mulai meleleh) dibawah kondisi spesifik dari tes. Titik lembek juga dapat diartikan sebagai suatu suhu pada saat bola baja, dengan berat tertentu, mendesak turun suatu lapisan aspal atau ter yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal atau ter tersebut menyentuh plat dasar yang terletak dibawah cincin pada tinggi tertentu, akibat pemanasan tertentu. Spesifikasi Bina Marga tentang titik lembek untuk aspal keras PEN 40 (Ring and Ball Test) adalah 51oC (minimum) dan 63oC (maksimum), sedangkan untuk PEN 60 adalah minimum 48oC dan maksimum 58oC. Mengingat pentingnya penentuan titik lembek dalam perkerasan jalan, maka titik lembek menjadi salah satu faktor penentu spesifikasi aspal dan ter. Titik lembek seharusnya lebih tinggi dari suhu permukaan jalan sehingga aspal tidak akan meleleh dan merusak konstruksi yang ada.

Titik lembek aspal berkisar antara 30–200oC, artinya masih ada nilai-nilai titik lembek yang hampir sama dengan suhu jalan pada umumnya. Sehingga diperlukan usaha tertentu untuk mempertinggi titik lembek aspal, misalnya dengan menggunakan filter terhadap campuran beraspal.

Metoda Ring and Ball adalah metoda yang umumnya digunakan pada bahan aspal dan ter untuk mengukur titik lembek bahan semi solid sampai solid. Pada percobaan untuk menentukan titik lembek aspal atau ter, penambahan suhu hendaknya berlangsung secara gradual dalam jenjang yang halus. Dalam percobaan ini, titik lembek ditunjukkan dengan suhu pada saat bola baja (dengan berat tertentu) mendesak turunnya suatu lapisan aspal atau ter yang tertahan di dalam cincin (berukuran tertentu), sehingga aspal atau ter tersebut menyentuh pelat dasar yang terletak pada tinggi tertentu. Adapun proses ini terjadi sebagai akibat kecepatan pemanasan. Metode ini dilakukan untuk mengetahui suhu ketika aspal dan ter mulai lembek. Dalam metode ini, titik lembek aspal dapat diketahui dengan menggunakan alat Ring and Ball. Data yang akan diperoleh dari metode  ini akan menjadi acuan di lapangan atas kemampuan aspal serta ter untuk menahan suhu permukaan yang terjadi agar tidak lembek dan akhirnya akan mengurangi daya lekatnya.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/perkerasan-jalan-raya/titik-lembek-aspal-dan-ter

Indeks Kepipihan Dan Kelonjongan Agregat

Indeks Kepipihan Dan Kelonjongan Agregat
Indeks Kepipihan Dan Kelonjongan Agregat

Pada batuan alam maupun hasil crushing plant terdapat fraksi-fraksi agregat yang memiliki berbagai macam bentuk. British Standard Institution (BSI-1975) membagi bentuk-bentuk agregat dalam 6 (enam) kategori, yaitu :

  1. Bulat (rounded)
  2. Tidak beraturan (irregular)
  3. Bersudut (angular)
  4. Pipih (flaky)
  5. Lonjong (elongated)

Suatu agregat dikatakan pipih, lonjong, pipih dan lonjong, atau berdimensi seragam ditentukan berdasarkan perbandingan antara diameter terpendek, terpanjang, dan diameter rata-ratanya. Misal untuk sebuah agregat berbentuk balok, maka diameter terpendek adalah tebalnya, diameter terpanjang adalah panjangnya, dan diameter rata-rata adalah lebarnya. Menurut BSI, jika perbandingan antara rata-rata diameter dengan diameter terpanjang kurang dari 0,55 maka bentuk agregat tersebut adalah lonjong. Sementara jika perbandingan antara diameter terpendek dengan rata-rata diameter kurang dari 0,60 maka agregat tergolong pipih.

Collist (1985) berpendapat bahwa agregat berbentuk pipih jika agregat tersebut lebih tipis minimal 60% dari diameter rata-rata. Sedangkan agregat berbentuk lonjong jika ukuran terpanjangnya lebih panjang minimal 180 % diameter rata-rata. Diameter rata-rata dihitung berdasarkan ukuran saringan. Misalnya untuk agregat yang lolos saringan 14,0 mm dan tertahan disaringan 10,0 mm (14-10 mm) maka diameter rata-ratanya adalah 11,125 mm.

Adapun nilai indeks menunjukkan presentase jumlah agregat yang pipih atau lonjong dari sampel yang ada. Semakin besar nilai indeks berarti semakin banyak jumlah agregat yang pipih atau lonjong dalam sampel tersebut. Dalam pelaksanaan di lapangan agregat yang diambil dari Aggregate Crushing Plant (ACP) biasanya jarang dilakukan pengukuran indeks kepipihan dan kelonjongan. Umumnya agregat yang dihasilkan dari ACP memiliki bentuk bersudut. Bentuk pipih atau lonjong dapat terjadi karena komposisi dan struktur batuan. Pada penghancuran batuan yang sangat keras dan getas, akan terjadi proporsi bentuk pipih yang cukup besar. Tetapi pada proses crushing yang selanjutnya akan didapat proporsi bentuk bersudut yang lebih banyak. Pengukuran Indeks Kepipihan dan Kelonjongan biasanya dilakukan untuk agregat yang diambil langsung dari alam seperti dari sungai atau dari penggalian langsung batuan di gunung.

Bentuk agregat pipih dan atau lonjong tidak diharapkan dalam struktur perkerasan jalan. Hal ini dikarenakan sifatnya yang mudah patah sehingga dapat mempengaruhi gradasi agregat, interlocking dan menyebabkan peningkatan porositas perkerasan tidak beraspal. Bina Marga masih menerima bentuk agregat pipih, yaitu maksimal 25% yang dibatasi penggunaannya, hanya paling tinggi untuk lapis pondasi. Penggunaan pada lapis permukaan hanya dimungkinkan untuk kelas jalan yang rendah.

Bentuk agregat bulat pun tidak disukai dalam perkerasan jalan. Tetapi untuk kondisi perkerasan tertentu, misalnya untuk kelas jalan rendah, agregat berbentuk bulat masih diperbolehkan tetapi hanya sebatas penggunaan untuk lapisan pondasi bawah dan lapisan pondasi saja. Maksimal penggunaan untuk lapisan pondasi tidak boleh lebih dari 40%, sedangkan untuk lapisan pondasi bawah dapat lebih besar lagi. Pada penggunaan praktis di lapangan, agregat berbentuk bulat dapat digunakan untuk lapisan permukaan dengan sebelumnya dipecahkan terlebih dahulu.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/perkerasan-jalan-raya/indeks-kepipihan-dan-kelonjongan-agregat

Pemeriksaan Penurunan Berat Aspal

Pemeriksaan Penurunan Berat Aspal

Pemeriksaan penurunan berat aspal bertujuan untuk mengetahui kehilangan minyak pada aspal akibat pemanasan berulang dan untuk mengukur perubahan kinerja aspal akibat kehilangan berat. Untuk mengevaluasi hanya pada beberapa karakteristik aspal, seperti kehilangan berat dan penetrasi, daktilitas dan titik lembek setelah kehilangan berat, dimana cara tersebut dinamakan Thin Film Over Test (TFOT).

Besarnya nilai penurunan berat, selisih nilai penetrasi sebelum dan sesudah pemanasan menunjukan bahwa aspal tersebut peka terhadap cuaca dan suhu.

Pengujian kehilangan berat ini, umumnya tidak terpisah dengan evaluasi karakteristik aspal setelah kehilangan berat. Dalam evaluasi ini dilakukan perbandingan karakteristik sebelum dan sesudah kehilangan berat. Karakteristik yang dilihat adalah nilai penetrasi, titik lembek dan daktilitas. Untuk itu sangat dianjurkan dalam penyiapan sampel dilakukan dibuat dua jenis sampel, yaitu kehilangan berat dan satu kelompok lainnya yang diuji TFOT sebagai yang telah kehilangan berat.

Benda uji yang harus disiapkan adalah Aspal AC 60/70 produksi PT. Pertamina. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan adalah

1. Termometer.

2. Oven yang dilengkapi :

  • Pengatur suhu untuk memanasi sampai (180 ± 1 oC)
  • Pinggan logam berdiameter 25 cm, menggantung dalam oven poros vertical dan berputar dengan kecepatan 5–6 putaran menit.
  • Cawan logam atau gelas berbentuk silinder dengan dasar yang rata. Ukuran dalam diameter 15 mm dan tinggi 35 mm.
  • Neraca analitik, dengan kapasitas (200 ± 0.001) gram

Cara Pelaksanaan
1. Letakkan sampel diatas pinggan setelah oven mencapai suhu (163 ± 1o C)

2. Pasanglah termometer pada kedudukannya sehingga terletak pada jarak 1.9 cm dari pinggir pinggan dengan ujung 6 mm diatas pinggan.

3. Ambillah sampel dari oven setelah 5 jam sampai dengan 5 jam 15 menit.

4. Dinginkanlah sampel pada suhu ruang, kemudian timbanglah dengan ketelitian 0.01 gram.

5. Panaskan kembali sampel dan buatlah benda uji untuk pengujian penetrasi, titik lembek, dan daktailitas.

6. Lakukanlah pengujian penetrasi (AASHTO T 49-89), titik lembek (SK SNI M-20-1990-F atau AASHTO T 53-89) dan daktailitas (SNI M-18-1990-F atau AASHTO  T 51-81) dan laporkan hasilnya sebagai kondisi aspal kehilangan berat.

Berikut ini adalah contoh hasil pengujian dan perhitungan :

Data Hasil Pengujian dan Perhitungan
 
Data Hasil Pengujian dan Perhitungan

Kesimpulan

Dari hasil pengamatan penurunan berat diatas, didapatkan nilai rata-rata penurunan berat sebesar 0,3%. Menurut SNI 06-2440-1991, syarat maksimum kehilangan berat untuk aspal penetrasi 60/70 adalah 0,8 %. Sehingga aspal diatas memenuhi syarat untuk digunakan dalam campuran aspal.

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/perkerasan-jalan-raya/pemeriksaan-penurunan-berat-aspal

Pemeriksaan Berat Satuan Agregat

Pemeriksaan Berat Satuan Agregat

Perbandingan antara berat dan volume pasir termasuk pori-pori antara butirannya disebut berat volume atau berat satuan. Tujuan dari pemeriksaan ini dimaksud untuk mengetahui cara mencari berat satuan pasir, kerikil, atau campuran.

Benda uji yang digunakan yaitu pasir atau kerikil kering tungku minimal sama dengan kapasitas bejana yang dipakai. Sedangkan alat yang digunakan antara lain :

  1. Timbangan dengan ketelitian maksimum 0.1% berat benda uji.
  2. Nampan besar.
  3. Tongkat pemadat dari baja tahan karat panjang 60 cm, diameter 15 mm dan     ujungnya bulat.
  4. Mistar perata.
  5. Bejana baja yang kaku, berbentuk silinder dengan ukuran seperti tabel dibawah ini
Ukuran Bejana dan Ukuran Batuan yang diuji
Ukuran Bejana dan Ukuran Batuan yang diuji

Cara pelaksanaan pengujian yaitu :

  1. Timbanglah berat bejana (B1) dan ukur diameter serta tinggi bejana.
  2. Masukkan pasir (kerikil) ke dalam bejana, dengan hati-hati agar tidak ada butiran yang tercecer.
  3. Ratakan permukaan pasir (kerikil) dengan menggunakan mistar perata sebanyak 25 kali.
  4. Timbang kembali berat bejana dengan pasir (kerikil) (B2).

Berikut ini adalah contoh cara pengolahan data hingga didapatkan berat satuan agregat

A. Benda Uji

Pasir :

  1. Pasir asal : Sungai gendol
  2. Diameter maksimum  : 22,3 mm
  3. Keadaan pasir : jenuh kering muka

Kerikil :

  1. Kerikil asal : Progo
  2. Diameter maksimum : 26 mm
  3. Keadaan kerikil : jenuh kering muka

B. Hasil Pengujian dan Hitungan 

Pasir

1. Berat bejana (B1) = 5,3 kg

2. Berat pasir (B2) = 21 kg (tidak dipadatkan) dan 21,5 kg (dipadatkan)

3. Ukuran bejana = diameter 22,05 cm ; tinggi 24,3 cm

4. Volume bejana = π (½ d²) t = 3,14 (½ 22,05²) 24,3 = 9274,56 cm³

Jadi berat satuan pasir yaitu :

1. Yang tidak dipadatkan

Berat pasir (B3) = B2 – B1 = 20 – 5,3 = 14,7 kg

Berat satuan pasir = B3 / V = 14,7 / 9274,56 = 1,5849 x 10-3 kg/cm³

2. Yang dipadatkan

Berat pasir (B3) = B2 – B1 = 21,5 – 5,3 = 16,2 kg

Berat satuan pasir = B3 / V = 16,2 / 9274,56 = 1,7467 x 10-3 kg/cm³

Kerikil

1. Berat bejana (B1) = 26,1 kg

2. Berat kerikil (B2) = 28 kg (tidak dipadatkan) dan 28,2 kg (dipadatkan)

3. Ukuran bejana = diameter 25,55 cm ; tinggi 28,6 cm

4. Volume bejana = π (½ d²) t = 3,14 (½ 25,55²) 28,6 = 1465,61 cm³

Jadi berat satuan kerikil yaitu :

1. Yang tidak dipadatkan

Berat kerikil (B3) = B2 – B1 = 28 – 26,1 = 1,9 kg

Berat satuan kerikil = B3 / V = 1,9 / 1465,61 = 1,2964 x 10-3 kg/cm³

2. Yang dipadatkan

Berat kerikil (B3) = B2 – B1 = 28,2 – 26,1 = 2,1 kg

Berat satuan kerikil = B3 / V = 2,1 / 1465,61 = 1,4328 x 10-3 kg/cm³

C. Kesimpulan

  1. Berat satuan pasir yang tidak dipadatkan: 1,5849 x 10-3 kg / cm³
  2. Berat satuan pasir yang dipadatkan: 1,7467 x 10-3  kg / cm³
  3. Berat satuan kerikil yang tidak dipadatkan: 1,2964 x 10-3 kg / cm³
  4. Berat satuan kerikil yang dipadatkan: 1,4328 x 10-3 kg/cm³
  5. Berat satuan pasir lebih besar dari berat satuan kerikil
  6. Berat volume diperoleh dari  nilai perbandingan antara berat dan volume pasir atan kerikil termasuk pori-pori butirannya sehingga berat volume sama dengan berat satuan.
sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/bahan-bangunan/pemeriksaan-berat-satuan-agregat

Jenis - Jenis Campuran Aspal

Lapis Tipis Aspal Pasir (LATASIR) atau Sand Sheet (SS)
Latasir ini digunakan pada jalan dengan lalu lintas yang ringan. Lapis ini paling tidak tahan terhadap terjadinya alur (rutting). Lapis ini memiliki sifat non-struktural dan hanya sebagai lapis penutup
Latasir ini dibagi lagi menjadi kelas A dan kelas B menurut gradasi pasirnya.

Gradasi Latasir A ditentukan oleh ayakan ukuran maksimum 12,5 mm (1/2 inci), ayakan menengah 9,5 mm (3/8 inci) dan ayakan terkecil 0,075 mm (No.200).
Gradasi Latasir B ditentukan oleh ayakan ukuran maksimum 12,5 mm (1/2 inci), ayakan menengah 2,36 mm (No. 8)  dan ayakan 0,075 mm (No.200). Butir lolos ayakan 0,075 mm (No. 200) untuk gradasi agregat halus dan atau pasir berubah, yaitu Latasir A antara 4 % dan 14 %, Latasir B antara 8 % dan 18 %.

Lapis Tipis Aspal Beton (LATASTON) atau Hot Rolled Sheet (HRS)
HRS digunakan pada jalan dengan beban lalu lintas yang sedang. HRS terdiri dari 2 jenis campuran yaitu HRS Pondasi (HRS-Base) dan HRS Lapis Aus (HRS-Wearing Course, HRS-WC).
Lapis Base adalah lapis pondasi permukaan, pada struktur jalan berada dibawah lapis Wearing Couse, meskipun lapis Base tidak memiliki kontak langsung dengan ban kendaraan namun lapisan ini memikul beban yang lebih besar dari lapis Wearing Course. Untuk Lapis Base terdapatalternatif jenis campuran beraspal panas HRS-Base dan AC-Base; memiliki jenis gradasi yang berbeda; HRS-Base bergradasi senjang yang artinya memiliki fraksi yang hilang dan AC-Base bergradasi menerus yang artinya semua fraksi agregat memiliki variasi yang seimbang dan pasti kinerja dari masing-masing campuran akan berbeda
Dari segi komposisi campuran HRS-Base bergradasi senjang membutuhkan agregat halus yang cukup banyak dibandingkan dengan AC-Base, karena agregat halus sulit diperoleh maka biaya yang dibutuhkan untuk membuat campuran HRS-Base lebih besar dibandingkan ACBase. Dari segi sifat campuran nilai stabilitas pada campuran AC-Base lebih inggi dibandingkan campuran HRS-Base ini berarti campuran AC-Base mampu menerima beban lalu lintas lebih besar dibandingkan dengan campuran HRS-Base
HRS-Lapis Aus (HRS-WC) memiliki 2 jenis campuran HRS-WC yaitu HRS-WC gradasi senjang dan HRS-WC gradasi semi senjang. Kedua gradasi agregat dalam campuran HRS-WC ini, hampir sama yaitu gradasi agregat dimana ukuran agregat yang ada tidak lengkap atau ada fraksi agregat yang tidak ada atau jumlahnya sedikit sekali

Lataston (HRS) bergradasi semi senjang sebagai pengganti Lataston (HRS) bergradasi senjang dapat digunakan pada daerah dimana pasir halus yang diperlukan untuk membuat gradasi yang benar-benar senjang tidak dapat diperoleh. Untuk HRS-WC yang benar-benar senjang, paling sedikit 80% agregat lolos ayakan No.8 (2,36 mm) harus lolos ayakan No.30 (0,600 mm)

penggunaan agregat halus merupakan bagian yang dominan dalam campuran HRS-WC, tentu ini juga berpengaruh pada komposisi bahan pembentuk campuran. Dalam menghitung proporsi agregat halus, perlu memperhatikan ketersediaan agregat apakah agregat tersebut mudah atau sulit untuk diperoleh. Dengan latar belakang diatas, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai perbedaan campuran HRS-WC bergradasi senjang dan yang bergradasi semi senjang, ditinjau dari sifat-sifat karakteristik Marshall yaitu nilai Stabilitas, Flow, Marshall Quotient, VMA, VFB dan VIM

Lapis Aspal Beton (LASTON) atau Asphalt Concrete (AC)

Lapis aspal beton (AC) ini digunakan pada jalan dengan beban lalu lintas yang berat. Campuran bergradasi menerus mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya bila dibandingkan gradasi senjang. Sehingga campuran AC lebih peka terhadap variasi dalam proporsi campuran.

  • Laston Aus – 1 (AC – WC1), untuk lapis permukaan, diameter butir maksimal 19,0 mm, bertekstur halus. Atau sering disebut AC – WC saja.
  • Laston Aus – 2 (AC – WC2), untuk perata atau Laston atas (ATB), diameter butir maksimal 25,4 mm, bertekstur sedang. Atau sering
  • disebut AC – BC (Asphalt Concrete – Binder Coarse) / Lapis Perkerasan. 
  • Laston Pondasi (AC – Base), untuk Laston bawah, diameter butir maksimal 37,5 mm, bertekstur kasar. 
  • Mempunyai nilai struktural. 
sumber : http://unitedgank007.blogspot.com/2016/10/jenis-jenis-campuran-aspal.html

Analisa Pembuatan Aspal

Analisa Pembuatan Aspal

Aspal menurut American Society for Testing and Materials (ASTM) adalah suatu material yang berwarna coklat tua sampai hitam, padat atau semi padat yang terdiri dari bitumen-bitumen yang terdapat di alam atau diperoleh dari residu minyak bumi. Aspal dalam kehidupan memiliki banyak kegunaan diantaranya digunakan sebagai pelapis dalam pembuatan jalan, coating atap, dan sebagai waterproofing pada peralatan industri.

Berdasarkan cara memperolehnya, aspal dapat dibedakan atas :

  1. Aspal Alam (nature asphalt) merupakan aspal yang terbentuk karena proses.
  2. Anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang bermuatan negatif.
  3. Non-ionik disebut juga aspal emulsi yang tidak mengalami icnisasi,  berarti tidak mengantarkan listrik.

Aspal emulsi yang umum digunakan dalam perkerasan jalan adalah aspal emulsi anionik dan kationik. Aspal jadi yang siap dipakai hasil pencampuran dari bahan-bahan utama,yaitu : kerikil, pasir dan aspal cair. Yang dimaksud dengan aspal cair adalah aspal yang dihasilkan oleh jenis Crude Oil jenis Asphaltic berbentuk semisolid, bersifat Non Metalik, larut dalam CS2 (Carbon Disulphide), mempunyai sifat waterproofing dan adhesive.

Hasil pengolahan itu yang digunakan untuk pengaspalan jalan. Dengan truk-truk pengangkut yang sudah disediakan perusahaan, transportasi aspal mulai dijalankan. Aspal dal dum-drum ini memiliki kapasitas tekanan temperatur yang memang sudah dikondisikan, sehingga kualitas aspal tetap baik selama pengangkutan hingga penggunaanya. Saat ini, negara kita sedang mengusahakan penggunaan aspal buton. Aspal buton adalah salah satu aspal alternatif yang terletak di Pulau Buton yaitu Waisiu, Kabungka, Winto, Wariti, Lawele dan Epe. Luas areanya sekitar 70.000 Ha yang membujur dari teluk Sampolawa di sebelah selatan sampai Teluk Lawele di sebelah utara.

Mengapa harus aspal buton? Karena aspal ini terletak hanya 1,5 meter di bawah permukaan tanah, bandingkan dengan kadar aspal alam yang diolah di Amerika Serikat yang hanya 12 – 15% dan Perancis (Danau Trinidad) dengan kadar aspal hanya 6 – 10% dan terletak ratusan meter di bawah permukaan tanah. PT. SARANA KARYA mulai memproduksi aspal ini dengan beberapa alasan seperti dibawah ini :

  • Kebutuhan Aspal di Indonesia Sekitar 1.300.000 ton/tahun
  • Produksi Aspal Pertamina dewasa ini 600.000 ton/tahun
  • Kekurangannya 700.000 ton/tahun

Sedangkan jika kita memproduksi aspal buton, didapat :

  • Deposit sekitar 650 Juta ton dan dengan produksi 1 juta ton tiap tahun berarti akan dapat diolah selama 650 tahun.
  • Harga aspal minyak (aspal impor) yang meningkat secara drastis
  • Dengan menggunakan hasil kekayaan alam kita sendiri berarti mengurangi aspal impor menghemat devisa negara serta membuka lapangan kerja

Aspal Buton dapat digunakan untuk :

  • Perkerasan/lapisan permukaan sebagai pengganti aspal minyak.
  • Asbuton Tile (Tegel Asbuton).
  • Block Asbuton untuk trotoar dan lain-lain.
  • Mengekstraksi bitumen dari Asbuton.
  • Melapis bendung/embung agar kedap air.
  • Cocok untuk konstruksi berat karena aspal hasil ekstraksi dari asbuton tidak mengandung parafin dan sedikit kadar sulfur sehingga kualitasnya lebih tinggi

Analisa Pembuatan Aspal

sumber : https://www.ilmutekniksipil.com/bahan-bangunan/analisa-pembuatan-aspal